http://mahidevranlovers.blogspot.com/
Omer, Arda, dan Pelin, sedang berada di
sebuah kafe. Arda dan Pelin bertanya kenapa Omer seperti sedang menjauhi Elif,
padahal sekarang Elif sangat membutuhkan kehadirannya. Setelah dipaksa Arda dan
Pelin, akhirnya Omer memberitahu alasan mereka. Bahwa Elif seorang pencuci uang
haram. Itu kenapa dia sangat kecewa pada Elif saat ini.
Elif menemui Asli di rumah sakit. Asli
masih saja tak bangun-bangun. Elif mengatakan sesuatu padanya.
“Kakakku sayang. Hari ini kita
mengucapkan perpisahan pada ibu kita. Dia tidak bersama lagi dengan kita. Ibu
telah bersatu dengan ayah. Mereka berdua telah tiada. Kumohon, kerahkan
tenagamu! Kita ditinggal sendirian. Kami sangat membutuhkanmu.”
Tayyar datang. Elif memeluknya. “Paman
Tayyar, berapa lama lagi dia akan tertidur? Apa mereka menyuntikkan obat begitu
banyak?”
“Kau benar sekali. Tapi kami terpaksa
melakukannya. Dia harus melalui semua ini. Kita terpaksa membiusnya agar dia
tidak melukai dirinya sendiri. Dia hampir saja meloncat dari jendela. Kau tahu
itu? Kami sudah berkonsultasi dengan dokter dari Amerika. Dia akan datang
kemari. Dia akan meresepkan dosisnya. Jadi jangan mengkhawatirkannya!”
“Baiklah. Lakukanlah apapun yang
dibutuhkan selama masih di bawah kontrol.”
“Baiklah! Jangan cemas!” Ucap Tayyar,
yang lalu pergi keluar.
Elif kembali mendekati Asli dan mencium
hidung kakaknya itu sembari menangis.
Di lorong rumah sakit, Elif kembali
menemui Tayyar.
“Taner juga di penjara. Jika dia disini,
setidaknya dia bisa membantu Asli!” Ujar Elif.
“Apa Taner baik-baik saja? Tempatnya
akan terlihat sangat kecil baginya selama dia ada di sana. Kedaan seperti itu
tak akan pernah ia sangka. Beritahu aku jika dia butuh seorang pengacara.”
Elif lalu mengingat perkataan Omer,
kalau Taner berselingkuh dengan Pinar. Elif pun sangat takut kalau Tayyar
mengetahui soal itu.
“Tak perlu. Tak butuh pengacara, Paman
Tayyar! Aku juga belum mengunjunginya sama sekali. Hari ini aku akan kesana.
Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat dan bagaimana aku akan mengatasi semua
ini.”
“Apa kau berpikir kalau Taner seorang
pembunuh?”
“Aku tak tahu, Paman. Aku tak tahu.”
Elif menutupi wajahnya. “Aku berdoa pada Tuhan semoga saja bukan dia. Aku
berhenti memikirkan tentang kami sekarang. Ibu, ayah, dan Taner? Asli tak akan
mampu menghadapi semua ini.”
“Kau benar. Kau benar.”
“Bagaimana keadaan Pinar? Dia tak datang
saat pemakaman!”
“Dia baik-baik saja. Dia berada di rumah
ibunya.”
Di tengah laut, di dalam kapal, kondisi
Pinar semakin lemah. Dia kehausan. Ia lalu melihat ata tetesan air hujan di
atap. Pinar membuka mulutnya dan menangkap tetes-tetesan itu untuk mengobati
dahaganya.
Kembali ke Omer, Arda, dan Pelin yang
berada di kafe tepi dermaga.
“Aku sungguh tak menyangka kenyataan
seperti ini datang dari Elif. Aku benar-benar tak menyangka.” Ujar Omer.
“Apa ini yang membuatmu begitu terkejut?”
Tanya Pelin. “Kita tahu bahwa Metin telah mengancam Elif. Adiknya saat itu ada
di genggaman Metin. Dia melakukan semua itu untuk melindungi keluarganya.
Kepeduliannya bukanlah keburukan. Sebenarnya, dia juga korban. Kau tidak
memikirkannya lewat cara pandang yang lain, Omer! Kau lebih mengenalnya
dibandingkan kita. Dia bukanlah tipe gadis yang sanggup melakukan kejahatan.”
“Tapi dia sudah melakukannya, Pelin. Dia
telah melakukannya. Dia sudah menyelesaikannya. Aku bersamanya saat itu. Aku
benar-benar Marah pada Elif!” Jawab Omer. “Aku sudah menanyainya saat di Roma,
ketika aku mencurigainya. Aku memintanya, jika mereka menyuruhnya melakukan
pencucian uang haram, jangan mau melakukan perbuatan bodoh itu. Aku bisa
menolongnya.”
“Tapi dia sedang diancam dengan nyawa
adiknya sebagai taruhan. Bagaimana bisa dia langsung mempercayai seorang pria
yang baru dikenalnya dalam dua hari (yang dimaksud Pelin adalah Omer)? Dia
mungkin berpikiran, bisa jadi kau seorang polisi korup. Bisa jadi kau pria yang
bekerja dengan Metin. Pikirkanlah tentang adiknya yang bisa saja mati jika Elif
membuat sedikit kesalahan saja. Lihatlah masalah ini lewat matanya Elif (cara
pandangnya Elif) dan tempatkan dirimu dalam sepatunya.”
“Percayalah padaku, hari itu aku tak
melakukan apapun, Pelin! Aku tak menyalahkan Elif. Sebetulnya, aku marah pada
diriku sendiri.” Tutur Omer.
“Apa yang kau temukan hingga kau
menyalahkan dirimu lagi saat ini?” Tanya Arda.
“Bagaimana bisa aku tak melihatnya,
Kawan? Bagaimana bisa aku tak melihatnya? Segalanya terjadi dan berakhir di
depanku. Aku sudah tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu sejak awal. Tapi apa
yang kulakukan? Aku mengabaikannya jauh di belakang, lalu melupakan semua itu.”
Omer menjelaskan.
“Kawan, dengarkanlah! Kau terkadang lupa
bahwa kau hanyalah manusia. Oke, kau sungguh polisi yang hebat tapi kau
sejatinya Cuma manusia. Maksudku, semua ini bisa terjadi. Itu mungkin kau
melewatkan sesuatu. Itu mungkin kau membuat kesalahan.” Arda menasehatinya.
“Omer, kau mempercayainya. Ini bukanlah
kesalahan ataupun sesuatu yang salah.” Tambah Pelin.
“Bisakah orang menjadi buta melihat
sesuatu yang sama (kesalahan Sibel dan Elif) dua kali, Pelin? Aku tak bisa
memaafkan diriku sendiri untuk kasusnya Sibel... dan sekarang, Elif juga....”
Omer masih bertahan dengan amarahnya.
“Tapi kasusnya berbeda kali ini, Kawan!”
Sela Arda.
“Itu sama... sama...”Omer bersikeras.
“Saat aku membiarkan Elif masuk ke dalam hatiku, otakku berhenti bekerja. Aku
tak mampu menagkap si Anjing Metin dan aku tak bisa melindungi Elif.”
Omer akhirnya pergi meninggalkan Pelin
dan Arda.
Diam-diam, Huseyin mendatangi mobil
milik Taner yang masih berada di departemen forensik. Saat memeriksa, muncul
seorang petugas forensik. Mereka membuat kesepakatan soal Taner.
“Apa yang terjadi dengan laporan
mobilnya?”
“Laporannya ada disini, Pak. Jika kau
menandatanganinya, pekerjaan kami akan selesai.”
“Jangan! Kirim saja ke kantor sesuai
prosedur normalnya...”
“Baiklah!”
“Sudah jelas ada darah Taner di baju dan
mobilnya. Apa kau sudah menemukan sesuatu yang baru?”
“Ya, kami menemukannya, Pak.”
“Apa yang kau temukan?”
“Darahnya tidak cocok dengan DNA Ahmed
Denizer maupun Sibel Andac. Itu darah orang lain...”
“Apa semua itu tertulis di laporan yang
sedang kau pegang?”
“Tentu saja tidak, Pak. Disini tertulis
bahwa darah kedua korban ditemukan di mobilnya Taner Akcali. Aku sudah mencetak
apa yang sudah kau suruh dengan benar.”
Huseyin pun tersenyum. “Terima kasih.
Seorang tetangga membutuhkan tanah tetangganya (pepatah = harus saling tolong
menolong), Asdi! Hari ini aku butuh bantuanmu, dan esok aku akan
membantumu....”
Di dalam sel tahanannya, Taner terus
saja mondar-mandir lalu duduk berpikir. Tak berselang lama, seorang petugas
memberitahunya kalau ada yang mengunjunginya.
Rupanya yang datang ialah Omer.
Taner sangat tak menyangka.
Keduanya berbicara lewat telepon, karena
terhalang dinding kaca.
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya
Taner.
“Kita harus bicara.” Jawab Omer.
“Kita harus bicara? Bukankah kau sedikit
terlambat?”
“Kau yang butuh pertolonganku. Jadi
dengarkan aku. Kau akan membantuku, dan aku akan membantumu.”
“Ooooh.... apa kau tahu program
perlindungan saksi? Semua itu tak bisa membuatku bergerak kemanapun. Ibu
mertuaku telah meninggal. Aku tak tahu keadaan istriku. Mereka membutuhkanku di
sana tapi aku ada di penjara ini....” Taner marah-marah. “Siapa yang
bertanggung jawab atas semua ini Omer? Siapa? KAUUU! Kau menjebloskan orang
yang tak bersalah ke dalam penjara!”
“Makanya ceritakan padaku Taner! Katakan
kenapa pengakuanmu dengan Pinar bisa berbeda. Apa yang kau lakukan malam itu?
Ada 45 menit yang hilang. Apa yang kau lakukan dalam 45 menit itu? Selain soal
berlian yang ada bersamamu....”
“Aku sudah pernah bilang. Aku sudah
bilang semuanya. Aku menemukan berlian itu di lemari pakaian Asli. Di antara
gaun malam. Aku bersumpah padamu, aku tak tahu lagi selain itu. Aku tak tahu
kenapa berlian itu bisa ada di sana. Aku tak tahu Omer...” Jelas Taner.
Di saat yang bersamaan, diperlihatkan
FLASHBACK saat Huseyin dan para polisi yang lain menggeledah kamarnya Asli
setelah hari pembunuhan. Huseyin masuk ke kamar Asli, dan meletakkan sebutir
berlian merah muda dalam lemari. Dialah yang meletakkan berlian yang ditemukan
Taner.
Kembali ke Omer dan Taner.
“Oke. Aku mempercayaimu.”
“Aku tak berbohong.”
“Mungkin memang kau tak berbohong, tapi
yang pasti kau melewatkan sesuatu. Dimana kau dan Pinar malam itu saat
terjadinya pembunuhan? Karena ada waktu 45 menit kau menghilang dari rumah....”
“Aku tak bisa memberitahumu soal tempat
dimana aku malam itu. Oke? Tapi percayalah Omer. Aku tak membunuh Ahmed Denizer
maupun gadis itu. Harus berapa kali lagi aku bilang? Aku tak bersalah.” Taner
berteriak-teriak. Emosinya.
“Tenanglah. Mari kita membuat
kesepatakan. Kesepakatan yang jelas. Kau menolongku, aku akan membantumu.
Sekarang, atau tidak akan pernah. Oke?”
Taner menghela napas panjang. “Dengarkan
aku baik-baik! Ada orang lain yang juga sedang mencari berlian-berlian itu. Dia
telah mengikutiku. Dan menekanku. Dia berpikir kalau aku menyimpan semua
berlian itu. Kau akan membantuku,,,, dan aku akan memberitahumu siapa itu...”
“Siapa? Siapa pria itu? Apakah dia
pemilik berliannya?”
“Aku tak tahu. Mungkin dia pemilik
berliannya. Mungkin juga dialah sang pembunuh yang sebenarnya. Omer, aku hanya
bisa memberitahumu soal ini. Pria ini sangat berbahaya.”
Setelah itu Taner menutup teleponnya,
lalu pergi. Omer memanggilnya, namun Taner mengabaikannya.
“Taner, katakan siapa pria itu? Taner!"
Taner masuk ke dalam selnya. Omer kesal
di ruang kunjung, hingga ia memukul tembok dan menendang kursi. Setelah itu ia
keluar.
Tak disangka, Elif datang bersama
pengacaranya ke penjara. Omer dan Elif bertemu lagi di sana. Keduanya sebentar
bertatapan, namun Omer berlalu begitu saja di depannya. Omer memanggilnya, dan
mengejarnya. Elif lalu membicarakan bagaimana kelanjutan hubungan mereka.