http://mahidevranlovers.blogspot.com/
Setelah itu Asli berdiri di
depan kuburan ibunya. Air matanya kembali pecah. Ia pun berbaring di atas
kuburan. Elif dan Nilufer menghampirinya.
Di rumah rahasianya, Huseyin
sedang bersama istri simpanannya dan anak lelakinya. Mereka bersenda gurau dan
tertawa bahagia.
Malam harinya, Elif terbangun
lalu menangis di dekat jendela kamarnya.
Diam-diam Omer mengawasinya dari
kejauhan (di tepi jalan) dan ikut bersedih.Omer lalu pergi dengan mobilnya.
Dua hari kemudian. Omer
mendatangi gurunya, seorang ahli kaligrafi, untuk menyelidiki tulisan Taner dalam
surat pengakuannya sebelum ditemukan tewas di penjara.
Saat gurunya sedang sibuk
mengamati tulisan Taner.... Omer malah sibuk memandangi GambarKaligrafi Penari Sufi yang
terpajang dalam bingkai, di meja belakang gurunya. Omer menyukai gambar itu.
“Apa kau yang membuatnya? Itu
sangat indah!” Ucap Omer.
“Kubuat musim semi ini. Jika kau
suka, kau bisa memilikinya.”
“Itu seperti aku telah
memintanya, Guru!”
“Kenapa kau tak memintanya saja?
Akupun membagi-bagikan gambarku ke orang lain. Gambar ini akan jatuh ke tanganmu
untuk dekorasi dinding rumahmu.
Omer tersenyum saat memandangi
gambar itu. Ada tulisan arab di dalamnya. “Apa ini artinya?” Tanya Omer.
Tahu-tahu Omer sudah berada di
dalam kantornya Elif sembari membawa gambar yang diberikan gurunya tadi.
Dia
mencari-cari tempat yang pas untuk meletakkan gambar itu.
Elif lalu datang. “Omer...
selamat datang!”
“Terima kasih. Selamat untuk
kantor barumu. Ini tak sedingin seperti kantormu yang dulu...”
“Sanjunganmu sangat manis.
Terima kasih.”
“Bagaimana kabarmu?”
“Aku sedang mengelola
perusahaanku.”
“Aku sedang menyiapkan
pernyataan....”
“Aku tidak datang untuk
pernyataanmu tentang Taner. Jika kau tidak membawa berita buruk lagi...”
“Apa kau pikir aku suka
memberimu kabar buruk?”
“Bukankah semua itu bagian dari
pekerjaanmu? Apa bedanya jika kau marah padaku ataupun orang? Apa ada artinya
bagimu? Benar kan?”
Omer terdiam. Kesal.
Elif melihat ada sesuatu yang
disembunyikan Omer. “Apa itu di tanganmu?”
“Sebuah hadiah. Hadiah kecil
untuk kantor kecilmu.”
Omer memberikan gambar yang
diminta dari gurunya pada Elif.
“Sangat indah...” Elif
menyukainya.
“Itu sebuah kaligrafi yang
diberikan padaku. Saat aku melihatnya, aku langsung memikirkanmu.” Ucap Omer.
Elif tersenyum, “Apa kau tahu
tulisan di kaligrafi ini?”
“Tentu saja aku
tahu...tulisannya : Be how you appear or appear how you be....”
Omer lalu melanjutkan ucapannya,
“Aku temukan dinding kosong agar kau bisa meletakkannya di sana. Saat kau
melihatnya, kau akan memikirkanku.”
Elif hanya terdiam menatap Omer.
Omer pun mengajak Elif bersiap,
“Ayo... kita harus segera pergi!”
“Kemana?” Tanya Elif.
“Jangan bertanya! Ikut saja
denganku...!”
“Jangan bergurau Omer. Aku tak
bisa pergi kemanapun hari ini. Aku tak punya waktu.”
“Ayo pergi dan kau akan mengerti
sesampainya di sana nanti...”
“Omer!”
Elif akhirnya mengikuti kemauan
Omer.
Di luar kantor, Elif memberitahu
Omer, “Aku lelah dengan permainan teka-teki...tahukah kau?”
Elif terus menggerutu, namun
Omer malah membelikannya Pretzel (kue kering) yang berjualan persis di depan
kantornya Elif.
Omer menawari Elif, namun Elif
tak mau. Di saat yang bersamaan, Bahar datang dengan mobilnya. Bahar melihat
Omer dan meledeknya, “Oh lihat siapa yang ada disini....! Aku melihat ada
Detektif Omer menghiasi kantor baru kita.”
Omer tampak tak menyukai dan
mengacuhkan Bahar. Omer lalu pergi begitu saja bersama Elif.
Saat berjalan menuju mobil, Omer
dan Elif berpapasan dengan Levent yang baru saja turun dari taksi. Levent
menatap kecewa ke arah Elif. Sedangkan Elif merasa tak enak kepada Levent dan
Cuma mengucapkan salam. Omer terlihat cemburu.
Setelah itu keduanya masuk ke
dalam mobil dan pergi.
Levent hanya terdiam menahan
kekecewaannya. Bahar melihat Levent dari kejauhan namun tak berani
menghampirinya. Bahar tahu kalau Levent cemburu pada Omer, karena dia benar-benar mencintai Elif.
Di dalam mobilnya, Omer yang
sedang menyetir dan mengemil kue, tak bisa menyembuyikan kecemburuannya pada
Levent.
“Orang bodoh itu masih saja
bekerja di perusahaanmu?”
“Siapa?”
“Memangnya siapa lagi? Levent
atau siapalah. Yang tinggi itu...”
“Ya. Kau salah paham dengannya,
Omer!”
“Huh. Itu tak penting bagiku.
Oke?”
“Lalu kenapa kau menanyakan hal
itu jika kau tak peduli, Detektif?” Elif kesal.
“Baiklah, Signorina (Nona)!
Baiklah, aku tak akan bertanya.”
Di kantor polisi, Komisaris Ali
duduk di meja kerjanya Pelin dan sedang memeriksa berkasnya Taner. Ada Pelin,
Arda, dan Huseyin di sana.
“Apa yang sudah kalian temukan
dengan kancing bajunya Taner ini?” Tanya Komisaris Ali.
“Belum ada, Pak. Kancing ini
bukan dari bajunya Taner. Ada sidik jari orang lain di sana. Itu milik tahanan
lain yang ada di dalam sel itu --- seseorang yang masuk sebelum Taner!” Jawab
Pelin.
“Dan kita tidak menemukan sidik
jari orang lain pada kancing itu.” Tambah Arda.
“Lalu? Apa lagi yang kalian
cari? Semuda bukti sudah disimpulkan. Dia jelas-jelas bunuh diri. Seorang
pembunuh melakukan bunuh diri. Itulah yang terjadi...” Bentak Komisaris Ali.
“Demi Tuhan, akupun mengatakan
hal yang sama, Pak, tapi aku tak bisa membuat mereka mendengarkanku...” Sela
Huseyin.
“Siapa yang tak mau
mendengarkanmu? Bahkan kepala penjara melaporkan kalau itu adalah bunuh diri.
Apa lagi yang kalian bingungkan setelah terkumpul semua bukti? Aku punya 80
kasus lainnya di meja kerjaku.” Komisaris Ali marah-marah.
“Tak ada catatan bunuh diri...
tapi....” Ucap Pelin yang disela Huseyin.
“Pelin, ada surat yang ditulis
sendiri oleh pria itu. Kita sudah melaporkannya.” Sela Huseyin.
“Pak, itu memang benar. Tapi
bagaimana kita tahu dia menulisnya atas keinginannya sendiri? Mungkin saja dia
dipaksa untuk menulis itu...” Sanggah Arda. “Omer mengunjungi Taner sehari
sebelum dia tewas. Dan taner berkata, jika Omer membebaskannya dari penjara,
dia akan memberitahunya nama orang yang bertanggung jawab atas semua ini.
Apakah ada orang yang ingin mati sementara dia berjuang menyelamatkan hidupnya
sendiri, Pak?”
“Kematian tak pernah diputuskan
dengan tangan. Itu terjadi tiba-tiba.” Elak Komisaris Ali.
“Kau ada benarnya juga, Pak.
Tapi tidakkah kau memberi kami satu hari lagi. Jika kami tak menemukan apapun
sampai malam,,,, kita bisa menutup kasus ini.” Pinta Pelin.
Komisaris Ali dan Huseyin saling
menatap sebentar.
“Baiklah. Baiklah!” Ucap
Komisaris Ali. “Lakukanlah... tapi aku tak mau ada penundaan lagi paginya,
esoknya...!”
Setelah itu Komisaris Ali pergi.
“Kalian tak akan berhasil. Demi
Tuhan, kalian tak akan berhasil!” Ujar Huseyin yang kesal pada Pelin dan Arda.
Huseyin lalu menanyakan dimana
Omer. Arda dan Pelin tak tahu. Huseyin kesal lalu masuk ke dalam ruang
kerjanya.
Omer mengajak Elif jalan-jalan
ke suatu tempat --- sebuah jalan yang kanan kirinya dipenuhi pertokohan dan
banyak turis berbelanja di sana. Omer meminta Elif untuk melihat banyak orang
dan mempelajari bahasa tubuh manusia.
Omer lalu melihat keanehan di
depan sebuah toko pakaian. Ada seorang wanita berambut coklat, menenteng tas
hitam, sedang sibuk melihat-kain kain. Sementara di belakangnya ada perempuan
tua, berkerudung, yang gerak-geriknya mencurigan. Lalu di depan wanita berambut
coklat itu ada seorang ibu berambut pirang bersama anak balitanya.
Omer lalu mengajak Elif
bersembunyi di sisi toko sambil mengamati ketiga wanita itu.
“Apa kau lihat wanita tua di
sana?” Tanya Omer.
“Yang memakai scarf (kerudung)?”
Tanya balik Elif.
“Ya. Lalu apa kau lihat
perempuan yang membawa anak kecil di sana?”
“Ya.”
“Wanita tua itu akan mencuri
dompet wanita yang sedang sibuk melihat-lihat pakaian di depan toko itu!” Ujar
Omer.
“Omer, jangan bodoh! Wanita tua
itu berwajah lugu dan baik. Dia sedang sibuk dengan urusannya sendiri.” Elif
tak percaya.
“Ah... kau akan lihat!”
Akhirnya, perempuan yang bersama
anak kecil, menghampiri dan berlagak menyakan sesuatu pada wanita berambut
coklat. Di saat yang bersamaan, wanita tua di belakang, mencopet dompet dari
tas wanita berambut coklat. Elif berteriak, namun Omer memberitahunya bahwa
sudah ada dua polisi yang akan mengejar wanita tua pencopet itu.
Di rumah sakit, polisi
mendatangi Pinar yang sudah siuman.
“Kami ingin menanyakan
sesuatu...” Ucap seorang polisi.
“Apa ada yang tahu bahwa aku
berada di sini?” Tanya Pinar.
“Kami tak bisa menghubungi
siapapun. Tak ada kartu identias maupun ponsel dalam bajumu. Apa kau ingat
namamu dan apa yang terjadi padamu?”
Pinar ketakutan. Ia pun
menjawab, “Tidak. Aku tak ingat namaku atau yang lainnya...”
Pinar berbohong agar
keberadaannya tak diketahui Tayyar.
Sang polisi lalu menyuruh anak
buahnya yang mencatat untuk mencari tahu siapa pemilik kapal tempat Pinar
disekap.
Di tepi laut, Tayyar dan Metin
sedang membicarakan Omer.
“Dan si bedebah Omer juga ikut
menyelidiki kasus ini (Pinar).” Ucap Tayyar.
“Itu bukan masalah. Polisi tak
akan bisa menemukan jejak kita karena kapal itu tak terdaftar atas nama kita.”
Balas Metin.
“Dimana perempuan itu (Pinar),
Metin?”
“Kami sudah bertanya pada orang
yang terakhir melihat kapal itu. Polisi pantai datang menyelamatkannya lalu
pergi meninggalkan kapal. Tak ada yang tahu apapun setelah itu...” Jawab Metin.
Tayyar marah hingga
menghancurkan gelas yang dipegangnya.
“Jangan membacakan puisi untukku.
Lupakan semua prosedur! Pergi dan temukan wanita itu... dan bunuh dia!”
Sementara itu, Omer mengajak
Elif ke hutan. Diam-diam, ada yang mengawasi mereka dengan teropong
(Yang mematai-matai ialah Komandan Sami).
Omer lalu menggambar tanda silang sebagai sasaran
tembak pada batang pohon. Ia lalu megajari Elif menembak. Awalnya Elif menolak,
namun Omer terus saja meyakinkan Elif bahwa dia harus bisa memakai senjata untuk melindungi dirinya dari Metin.